Perlu diketahui bahwa dosa kecil dapat menjadi besar karena beberapa sebab, di antaranya:
1. Apabila dilakukan dengan konsisten dan terus menerus.
Oleh sebab itu dinyatakan oleh para ulama As-Salaf: “Tidak ada yang namanya dosa kecil apabila dilakukan dengan
terus-menerus. Dan tidak ada yang dinamakan dengan dosa besar, bila diiringi dengan taubat.”
2. Karena diremehkan.
Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh seorang hamba, akan menjadi kecil di sisi Allah. Namun
sebaliknya apabila diremehkan, ia akan menjadi besar di sisi Allah. Karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang
besar, berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.
3. Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya.
Kegembiraan,kebanggaan, dan kelengahan seorang hamba terhadap dosa tersebut, menjadikannya sebagai dosa
besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil
tersebut dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan pada hatinya. Sampai-sampai ada pelaku dosa yang bangga
dan berbesar hati dengan dosanya, karena saking gembiranya dia dengan perbuatan doa tersebut. Misalnya seperti
orang yang berkata: “Tidak kamu mengetahui, bagaimana aku membuntuti si Fulanah dan berhasil melihatnya?” Atau
seperti perkataan seseorang usai berdebat: “Tidakkah kamu mengetahui bagaimana aku kemukakan segala
kejelekannya sehingga membuat dirinya malu? Dan bagaimana juga aku merendahkannya? Bagaimana aku
membuatnya kebingungan? Atau bisa juga seperti pernyataan seorang bisnisman: “Tidakkah kamu mengetahui,
bagaimana aku dapat menjual barang palsu kepadanya? Bagaimana aku menipunya? Bagaimana aku preteli hartanya?
Bagaimana aku membuatnya seperti orang bodoh?” Kesemua perbuatan itu bisa merubah dosa-dosa kecil menjadi
besar. Sesungguhnya dosa-dosa itu membinasakan! Apabila seorang hamba terjerumus kepada semua dosa-dosa itu,
syetan berhasil menggiringnya ke arah sana, maka hendaknya ia merasa bahwa dirinya berada di dalam musibah, dan
mengasihani dirinya sendiri, karena syetan berhasil mengalahkannya, dan karena dirinya semakin jauh dari Allah.
4. Apabila menyepelekan pengampunan Allah, merasa santai dan kurang perhatian.
Ia tidak sadar bahwa kesantaiannya itu karena Allah memang membiarkannya demikian agar semakin bertumpuk dosadosanya.
Ia justru beranggapan bahwa ia dapat berbuat maksiat karena Allah memang peluang. Itulah yang dinamakan
dengan “merasa aman” terhadap siksa Allah dan kebodohannya dengan tertipu oleh anggapannya terhadap Allah.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah:
“Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: 'Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita
katakan itu' Cukuplah bagi mereka naar Jahannam yang akan mereka masuki. Dan naar itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali.” (Al-Mujadilah:8)
5. Apabila dosa itu dilakukan dengan terang-terangan.
Yakni apabila seseorang menyebut-nyebutnya setelah ia melakukannya, atau melakukannya di hadapan orang banyak.
Yang demikian itu adalah tindakan makarnya terhadap ampunan yang seharusnya dapat diberikan kepadanya. Selain
juga dapat mengundang hasrat orang lain yang mendengar atau melihatnya untuk ikut melakukan perbuatan dosa itu.
Jadilah dua macam dosa terkumpul menjadi satu sehingga konsekuensinya menjadi lebih berat. Jika masih ditambah
lagi dengan anjuran kepada orang lain dan ajakan untuk melakukannya, serta penyediaan sarana untuk melakukannya,
jadilah empat kejahatan dalam satu perbuatan. Urusannya pun menjadi semakin jelek.
Dalam hadits disebutkan:
“Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya, kecuali orang yang mengekspos perbuatan dosanya. Contoh dari
mengekspos dosa adalah seorang lelaki yang berbuat dosa di malam hari, pagi harinya, Allah telah menutupi
perbuatannya itu agar tidak diketahui oleh orang lain. Namun ia justru berkata: 'Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan
ini dan itu.' Di malam hari, hanya Allah yang mengetahui perbuatan dosanya, namun di pagi hari justru dia sendiri yang
menyiarkannya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Yang demikian itu karena di antara sifat Allah dan karunia-Nya adalah bahwa Dia ingin menampakkan yang baik-baik dan menyembunyikan yang buruk-buruk. Allah juga tidak akan menyingkap tabir keburukan. Maka menampakkan
keburukan, berarti kekufuran terhadap karunia kenikmatan Allah tersebut. Sebagian ulama berkata: “Janganlah kamu
berbuat dosa. Kalau kamu terpaksa berbuat dosa, janganlah kamu anjurkan orang lain melakukannya, yang
menyebabkanmu melakukan dua dosa sekaligus. Oleh sebab itu Allah berfirman:
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan-perempuan, sebagian dari sebagian yang lain adalah sama, mereka
menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf.”(AT-Taubah :67)
Sebagian ulama As-Salaf berkata: “Tidak pernah seseorang itu melakukan pelanggaran kehormatan yang lebih besar
daripada menolong saudaranya melakukan maksiat dan mempermudah jalan maksiat itu kepadanya.
6. Apabila dilakukan oleh orang alim yang menjadi panutan.
Apabila ia melakukan dosanya itu dengan disaksikan orang lain, dosanya menjadi dosa besar. Seperti menggunjing
orang dengan lidahnya, atau berkata kasar dalam perdebatan, atau menyepelekan orang dengan sengaja, atau sibuk
mempelajari ilmu yang bertujuan hanya untuk mencari kedudukan, seperti ilmu retorika perdebatan. Kesemuanya itu
adalah dosa-dosa seorang alim yang cenderung ditiru orang lain. Ketika si alim meninggal dunia, kajahatannya tetap
bertebaran di muka bumi dalam jangka waktu yang panjang. Sungguh beruntung orang yang membawa mati segala
keburukannya.
Allah berfirman:
“Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin:12)
Yang dimaksud dengan bekas-bekas yang mereka tinggalkan adalah pengaruh amal perbuatan yang masih terus ada
setelah perbuatan itu bahkan pelakunya sendiri sudah tidak ada lagi.
Sumber:
Dosa - Bahaya dan Pencegahannya oleh Muhammad b.Ahmad Rasyid Ahman, penerbit At-Tibyan halaman 50-55